“Wejangan” di “Pertapaan” Cokrokembang


Ketika banyak orang tenggelam dalam kesibukan menyiapkan “pesta” pergantian tahun, 18 “cantrik” dari “Padepokan” STESA (Studi Teater dan Sastra) Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kendal justru “menyepi” di “Pertapaan” Cokrokembang, Desa Mentosari, Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Ke-18 cantrik yang digembleng di bawah kharisma “Resi” Aslam Kussatyo itu mulai “bertapa” sejak Sabtu, 29 Desember hingga Senin, 31 Desember 2007. Ada banyak “jurus” yang hendak diasah dalam “kawah candradimuka” itu, seperti manajemen pertunjukan, imajinasi, refleksi diri, olah tubuh, pernapasan dan vokal, penyutradaraan, keaktoran, make-up, artistik, kepekaan indera, improvisasi gerak dan kata, penciptaan, dan penyajian.

Ya, para “cantrik” itu adalah beberapa gelintir anak muda yang telah berniat memilih dunia sastra dan teater sebagai bagian dari “panggilan” hidup. Sebuah dunia yang (nyaris) tidak banyak diminati oleh anak-anak muda di tengah-tengah gencarnya gerusan nilai materialisme, konsumtivisme, dan hedonisme. Di bawah gemblengan Aslam Kussatyo, dedengkot teater Kota Kendal, mereka sengaja mengisolir diri menjelang pergantian tahun untuk melakukan refleksi, berimajinasi, mengolah daya cipta, dan berlatih jurus-jurus bermain teater.

Lainnya

Surat Buat Mak di Kampung


Mak, saya tahu kalau Mak nggak mungkin baca surat ini. Selain luput dari sentuhan bebas 3 buta (baca, tulis, dan hitung), di kampung nggak ada internet. Saya juga tahu kalau hari ini Mak sedang bercengkerama dengan alam desa yang masih ramah, belum tercemar limbah dan polusi pabrik. Saya juga tahu kalau Mak belakangan ini lebih banyak duduk di depan kotak ajaib. Menghabiskan siswa waktu di kala anak dan cucumu mengadu nasib di perantauan. Saya juga bisa memahami kalau Mak sedang kesepian. Ingin selalu bersama, hidup dalam satu atap bersama anak, menantu, dan cucu. Tapi apa boleh buat, Mak. Tuhan sudah memiliki skenario kehidupan bagi setiap hamba-Nya. Mohon maaf, Mak, kalau sudah hampir seperempat abad ini, aku tidak lagi bisa mendampingi dan menemani Mak. Tidak bisa seperti ketika Mak menyaksikan kenakalanku waktu SD dan SMP.

Mak, saya jadi ingat ketika Mak harus bersusah-payah mencari pinjaman hutang untuk biaya sekolahku waktu kuliah di sebuah institusi yang disebut-sebut sebagai lembaga pencetak calon guru. Waktu itu, keluarga kita benar-benar sedang hancur. Ayah sakit keras. Tak berdaya melawan virus kelumpuhan yang terus menggorogoti tubuhnya. Hingga sekarang, aku juga tidak tahu, virus apa yang bersarang di tubuhnya, hingga akhirnya Ayah tak kuasa melawannya. Ayah harus berpulang menghadap ke haribaan-Nya. (Semoga Ayah tenang di alam-Nya sana, diterima semua amal baiknya, dan diampuni segala dosanya.) Aku juga tahu kalau Mak saat itu sedang dalam keadaan bingung. Tapi, kalau harus berhenti kuliah, aku juga tidak sanggup melakukannya. Cita-cita untuk memenuhi dunia panggilan sebagai seorang guru sudah merajam darah dan jiwaku. Alhamdulillah, berkat jerih-payah Mak, akhirnya kuliahku selesai juga.

Lainnya

Revitalisasi Seni Rakyat di Tengah Peradaban Global


Seiring dengan dinamika zaman yang terus bergerak pada arus globalisasi, dunia kesenian diharapkan bisa ikut berkiprah dalam melakukan pencerahan terhadap peradaban yang “sakit”. Seni tidak cukup hanya dipahami sebagai produk estetika, tetapi juga mesti diapresiasi sebagai sebagai produk budaya yang mampu memberikan sesuatu yang bermakna bagi umat manusia. “Dulce et utile”, kata Horace.

Berkaitan dengan keberadaan seni rakyat yang hingga kini masih tumbuh subur di kantong-kantong seni, khususnya di daerah pedesaan, pada era global justru akan semakin dilirik dan diperhatikan sebagai “mutiara yang hilang”. Seni rakyat justru akan semakin penting dan strategis setelah manusia-manusia yang hidup pada masa post-modern sudah mulai jenuh dengan berbagai produk seni modern yang dinilai mulai kehilangan basis dan tuah falsafinya. Oleh karena itu, produk-produk seni rakyat perlu dikemas sedemikian rupa sehingga kehadirannya semakin dicintai dan dirindukan oleh publik.

Lainnya

“Langit Makin Mendung”: Cerpen Multiwajah yang Kontroversial


Pernah membaca cerpen “Langit Makin Mendung” (LMM) karya Kipandjikusmin? Bagaimana kesan Sampeyan? Benci, geram, atau justru diam-diam mengaguminya? Ya, cerpen itulah yang pernah membikin “heboh” jagad sastra Indonesia karena dinilai telah melanggar batas kepantasan sebagai sebuah teks cerpen yang ingin mengungkap persoalan-persoalan religi. Cerpen yang pernah dimuat di majalah Sastra No. 8 (edisi Agustus) tahun 1968 itu telah mengundang reaksi umat Islam. Ratusan eksemplar majalah Sastra di berbagai toko, agen dan pengecer di kota Medan disita oleh Pihak Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Kantor majalah Sastra diberangus dan dicoreti dindingnya dengan berbagai hujatan dan hinaan. Redaktur majalah Sastra, H.B. Jassin harus berurusan dengan pihak yang berwajib, bahkan divonis satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun karena dianggap melakukan penodaan agama (pasal 156a KUHP).

39 tahun sudah “heboh sastra” itu berlangsung. Namun, LMM dan Kipandjikusmin tetap saja menjadi sebuah fenomena dalam dinamika sejarah sastra Indonesia.

Lainnya

Topeng


Cerpen: Sawali Tuhusetya

Entah! Setiap kali memandangi topeng itu lekat-lekat, Barman merasakan sebuah kekuatan aneh muncul secara tiba-tiba dari bilik goresan dan lekukannya. Ada semilir angin lembut yang mengusik gendang telinganya, ditingkah suara-suara ganjil yang sama sekali belum pernah dikenalnya. Perasaan Barman jadi kacau. Kepalanya terasa pusing. Sorot matanya tersedot pelan-pelan ke dalam sebuah arus gaib yang terus memancar dari balik topeng. Dalam keadaan demikian, Barman tak mampu berbuat apa-apa. Terpaku dan mematung. Getaran-getaran aneh terasa menjalari seluruh tubuhnya. Barman benar-benar berada dalam pengaruh topeng itu.

Memang hanya sebuah topeng. Bentuknya pun mungkin sudah tidak menarik. Permukaannya kasar. Dahinya lebar. Hidung pesek dengan kedua pipi menonjol. Goresan dan lekuknya terkesan disamarkan, tidak tegas. Warnanya pun sudah kusam, menandakan ketuaan. Orang-orang kampung menyebutnya topeng tembem. Tapi dengan topeng itulah nama ayah Barman, Marmo, pernah melambung sebagai pemain reog yang dikagumi pada masa jayanya.

Lainnya

Previous Older Entries